Blog Ma'had Aly Ploso

Di zaman serba digital ini, istilah Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan bukan lagi hal asing dan sangat mudah dikuasai. Dari aplikasi penerjemah, robot chat, bahkan sampai konten TikTok banyak yang dibuat dengan memanfaatkan AI. Hal Demikian membuat AI semakin meresap dalam kehidupan sehari-hari. Lalu, pertanyaannya : bagaimana seharusnya santri memandang AI? Apakah ia peluang untuk berkembang, atau justru ancaman bagi akhlaq dan keilmuan?

Apa Itu AI?

     AI atau Artificial Intelligence adalah teknologi yang memungkinkan komputer dan mesin untuk meniru kemampuan intelektual manusia seperti belajar, memahami, memecahkan masalah, dan pengambilan keputusan. AI dapat melakukan berbagai tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, seperti pengenalan gambar, pemrosesan bahasa, dan bahkan menciptakan konten kreatif. Contoh nyatanya adalah Google Translate, ChatGPT, atau aplikasi edit gambar atau video yang bisa memberikan apa yang diinginkan sesuai instruksi. Hal ini merupakan kemajuan teknologi yang termasuk sangat cepat dan intens.

Pandangan Islam Menyikapi Kemajuan Teknologi 

     Dalam Islam sendiri, Al Quran tidak pernah melarang atau membatasi umatnya untuk maju dan modern, selama masih dalam koridor iman dan Islam. Justru Islam sangat mendorong umatnya untuk melakukan penelitian dan bereksperimen di bidang apapun termasuk dunia teknologi. Hal ini selaras seperti apa yang terkandung dalam Qs Al Jatsiyah ayat 13 :

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ۝

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” 

     Ayat ini mendorong muslimin untuk tidak pasif terhadap apa yang terjadi di dunia ini, melainkan aktif mengkaji dan meneliti. Tentu salah satunya adalah teknologi yang selalu mengalami progresi tanpa henti. AI sebagai bagian dari teknologi layaknya pedang bermata dua bagi kaum pesantren, disatu sisi dapat menawarkan berbagai kemudahan belajar-mengajar. Namun, di sisi lain AI bisa menjadi momok bagi dunia pesantren yang tidak bisa dianggap remeh.

AI Sebagai Peluang 

     Salah satu faidah yang mungkin paling kentara dirasakan kaum santri adalah digitalisasi kitab-kitab kuning yang merupakan warisan intelektual Islam dan menjadi ruh kepesantrenan. Mengingat literatur yang dikaji kaum santri terutama pesantren yang berbasis salaf merupakan kitab-kitab klasik para ulama terdahulu yang belum terdigitalisasi. Ciri khas kosa kata Arab klasik yang kompleks dapat dengan mudah dirubah menjadi ringkas dan lugas sehingga mudah dipahami. Dengan penggunaan AI, efektivitas dan efisiensi waktu dalam belajar bisa meningkat secara signifikan. Seorang santri bisa saja menemukan semua hadits tentang wudhu yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari hanya dalam hitungan detik. Disisi lain, hadirnya AI bisa menjadi perlindungan bagi eksistensi manuskrip langka tanpa kehilangan isi ilmunya.

     Selain itu, dengan menguasai AI santri bisa menjadi insan melek teknologi yang diharapkan selalu bisa berdinamika mengikuti arus zaman. Dengan demikian, esensi pesantren sebagai institusi pendidikan yang mengkolaborasikan nilai spiritual, moral, dan intelektual dapat terus bersinergi di tengah masyarakat modern.

     Pihak pesantren juga bisa memanfaatkan AI sebagai suatu sistem untuk mengevaluasi hasil belajar santri, sehingga kemampuan setiap santri dapat ditelusuri secara lebih personal.  Selain sistem pembelajaran, AI juga dapat dimanfaatkan sebagai sistem manajemen administrasi. Proses administrasi dapat diautomatisasi dan dipercepat, meminimalkan kemungkinan kesalahan, dan tidak membutuhkan banyak staf. Mengingat tidak sedikit pesantren yang memang belum memiliki banyak tenaga kerja yang mumpuni dalam pemanfaatan teknologi.

     AI seakan menjadi jembatan penghubung masa lalu dan masa depan dalam menjaga warisan keilmuan Islam. Tugas santri adalah menjaga nilai, bukan menolak zaman. Karena kitab kuning tidak hanya berisi ilmu, tapi juga adab. Dan keduanya harus ikut dibawa ke era digital.

AI Sebagai Ancaman

     AI dapat meniru penjelasan manusia, bahkan menjelaskan kitab secara otomatis. Namun ini dapat mengganggu hubungan esensial antara santri dan guru, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai علقة (‘alaqah). Para ulama tentu sering menekankan pentingnya menyambungkan ilmu ke gurunya, lalu ke gurunya lagi, sampai pada puncaknya yaitu tersambung ke Rasulullah SAW.    Hal demikian inilah yang disebut dengan sanad keilmuan. Sedangkan AI tidaklah memiliki sanad. Jika santri tidak lagi menganggap penting berguru secara langsung, tentu saja sanad keilmuan akan terputus. 

     Dalam pesantren, belajar bukan hanya melulu soal keilmuan, akan tetapi hal yang tidak kalah pentingnya yaitu permasalahan adab, akhlaq, dan mencari keberkahan. Hal ini selaras dengan maqolah yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga para santri, yaitu

 الأدب فوق العلم atau adab itu lebih utama dibanding ilmu. Guru bukan hanyalah seorang pelajar, melainkan guru juga merupakan seorang pembimbing ruhani. Ketika santri terlalu sering belajar sendiri melalui AI, aspek pembentukan karakter dan spiritual pasti akan terabaikan, apalagi jika berbicara tentang keberkahan.

     Secara global, ketergantungan dengan teknologi dalam mencari ilmu dapat menumpulkan nalar dan kemampuan memahami secara mendalam. Belajar agama bukan hanya tentang mengetahui hasil, tetapi juga memahami tentang sebuah proses. Misalnya, ketika seorang santri ingin mengetahui tentang suatu hukum fiqh, dan ia langsung mengandalkan AI sebagai jawaban, seorang santri tadi tidak akan mengetahui bagaimana pola pikir para ulama dari menggali dalil sampai berijtihad hingga menghasilkan sebuah hukum.

     Keterbiasaan jalan pintas tersebut juga akan menghilangkan tradisi muthola’ah. Dalam tradisi pesantren, santri terbiasa membuka kitab, mencari makna, menghubungkan satu bagian dengan bagian lain. Hal ini melatih daya pikir, ketekunan, dan kemandirian yang pastinya akan hilang jika selalu bergantung pada AI.

Bagaimana Sikap Seorang Santri?

     AI bukanlah pengganti guru, bukan juga pengganti kitab. Tetapi ia adalah alat bantu yang luar biasa. Karena AI adalah sebatas alat bantu saja, maka AI boleh digunakan seorang santri hanya untuk mencari arah saja, tanpa meninggalkan proses belajar yang serius dan sesuai dengan tradisi kepesantrenan yang diwariskan para ulama, karena disitulah letak keberkahan bisa kita dapatkan. Sudah sepantasnya kita sebagai seorang santri selalu mengedepankan guru dan kitab dalam menggali sebuah hukum, terlebih ini merupakan perihal agama. Semua yang santri dapatkan dari hasil AI, haruslah diuji kembali kebenerannya di hadapan seorang guru. 

     Pada dasarnya, seorang santri tidak boleh menolak dan tidak boleh takluk sepenuhnya tanpa adanya filter lebih lanjut. AI merupakan alat bantu, bukan seorang guru. Maka, seorang santri seyogyanya memanfaatkan dengan tanpa bergantung sepenuhnya. 

Kesimpulan 

     Perkembangan Artificial Intelligence (AI) adalah sebuah kenyataan zaman yang tidak bisa dihindari. Santri tidak boleh anti-teknologi, tetapi juga tidak boleh kehilangan adab dan tradisi hanya demi kecepatan dan kepraktisan. AI dapat mempercepat akses ilmu, membantu riset, dan meringankan tugas. Namun, ruh keilmuan pesantren seperti ‘alaqah, sanad keilmuan, adab kepada guru, dan kesabaran dalam belajar tidak bisa digantikan oleh mesin.

     Maka yang dibutuhkan santri hari ini bukan hanya melek teknologi, tapi bijak dalam menyikapinya, dengan tetap menjaga jati diri, adab, dan integritas sebagai penuntut ilmu warisan para ulama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *