Blog Ma'had Aly Ploso

          Mazhab secara bahasa berarti “jalan” atau “metode”. Dalam konteks fikih, mazhab adalah hasil rumusan hukum-hukum syariat dan hadir sebagai metode interpretasi terhadap Al-Qur’an dan Sunnah yang dikembangkan oleh para imam mujtahid berdasarkan ijtihad terhadap dalil-dalil yang ada. Bermazhab berarti mengikuti metodologi dan hasil istinbath hukum dari salah satu mazhab tersebut. Meski berbeda dalam rincian hukum, semua mazhab Sunni berlandaskan pada dalil yang kuat dan prinsip ilmiah.

Mazhab muncul sebagai respon terhadap kebutuhan umat Islam dalam menerapkan hukum Islam di berbagai tempat dan kondisi. Keempat mazhab besar telah melalui proses panjang validasi, pengujian, dan pengembangan oleh para ulama lintas generasi.

Pendapat ulama Mazhab muncul dari hasil ijtihad para ulama yang memiliki metodologi dan istinbath (penggalian hukum) yang berbeda tetapi sah dan diakui oleh umat Islam. sementara itu ulama ulama yang masyhur mempertahankan konsep penggalian hukum dengan menggunakan empat dasar ( Al Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas ) adalah imam Ahmad Bin Hanbal, imam Abi Hanifah, imam Malik  bin Anas dan imam Muhammad bin Idris Assyafi’I, yang biasa kita kenal dengan MAZAHIB AL ARBA’AH.

Dan dalam bermazhab hukumnya adalah wajib, hal ini juga sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ Ayat 7 (Juz 17) ;

وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ اِلاَّ رِِجَالاً نُّوْحِيْ اِلَيْهِمْ فَسْئَلُوْٓا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ

Artinya:‘’Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui’’.

Sayyid Abu Bakar Syatha pengarang kitab i’anah at-thalibiin juga menyatakan “Semua mazahib al-arba’ah itu benar, maka wajib hukumnya bagi setiap orang untuk mengikuti ( taqlid ) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut”

Maka diwajibkan bagi setiap muslim untuk Attamazhub ( berpijak pada salah satu dari empat mazhab ) dan dillarang untuk mengkuti pendapat ulama yang bukan bersumber dari mazhab empat

Apakah berpindah mazhab adalah solusi?

          Dalam realitas masyarakat muslim, tidak jarang individu menemukan alasan untuk berpindah dari satu mazhab ke mazhab lainnya. Fenomena ini memunculkan berbagai pertanyaan: Apakah berpindah mazhab diperbolehkan? Apakah hal itu mencerminkan inkonsistensi dalam beragama?

Artikel ini mengulas literatur klasik tentang bermazhab dalam permasalahan tawaf ketika haji serta sedikit mengupas seputar perbandingan pandangan ulama berbagai mazhab dalam permasalahan tersebut.

Fenomena berpindah mazhab ketika menunaikan ibadah haji kerap terjadi di kalangan jamaah, baik karena alasan kemudahan teknis, fatwa pembimbing, maupun perbedaan tata cara ibadah. Melalui proses kajian terhadap kitab fiqh lintas mazhab, ditemukan bahwa berpindah mazhab diperbolehkan selama menghindari talfiq yang bertentangan dengan prinsip keutuhan ibadah. Namun, adab ilmiah dan pemahaman metodologi tetap harus dijaga agar tidak mengakibatkan kesalahan dalam pelaksanaan ibadah.

         Pada pembahasan dalam beberapa kitab fikih mazhab Syafi’i ada beberapa solusi untuk masalah bersentuhan dengan Non-mahram tanpa harus berpindah mazhab dengan mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah di antaranya :

المجموع شرح المهذّب للشيخ ابي زكريّا يحيى بن شرف النووي. ج ٢ ص ٢٦

وَوَجْهٌ حَكَاهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْحَنَّاطِيِّ أَنَّ ابْنَ سُرَيْجٍ كَانَ يَعْتَبِرُ الشَّهْوَةَ فِي الِانْتِقَاضِ قَالَ الْحَنَّاطِيُّ وَحَكَى هَذَا عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ وَوَجْهٌ حَكَاهُ الْفُورَانِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَآخَرُونَ أَنَّ اللَّمْسَ إنَّمَا يَنْقُضُ إذَا وَقَعَ قَصْدًا وَهَذِهِ الْأَوْجُهُ شَاذَّةٌ ضَعِيفَةٌ وَالصَّحِيحُ الْمَعْرُوفُ فِي الْمَذْهَبِ مَا سَبَقَ اهـ

Menurut pendapat Imam Ibnu Syuraij beliau menyatakan bahwa wudlunya seseorang tidak batal jika menyentuh Non-mahram tidak di sertai dengan syahwat

Sedangkan imam Haramain  dan imam al-Furani mengatakan wudlunya tidak batal jika memang tidak ada unsur kesengajaan

الحاوي الكبير للشيخ ابو الحسن الماورد. ج ١ ص ١٨٩

حُكْمُ وُضُوءِ الْمَلْمُوسِ فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا وَصَفْنَا مِنِ انْتِقَاضِ الْوُضُوءِ بِلَمْسِ مَنْ ذَكَرْنَا مِنَ النِّسَاءِ، فَفِي انْتِقَاضِ وُضُوءِ الْمَرْأَةِ الْمَلْمُوسَةِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا نَقَلَهُ الْبُوَيْطِيُّ أَنَّ الْمَلْمُوسَ لَا يَنْتَقِضُ وُضُوؤُهُ، لِأَنَّ عَائِشَةَ لَمَسَتْ قَدَمَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَمَا أَنْكَرَهُ، وَلِأَنَّ الْمَسَّ الْمُوجِبَ لِلْوُضُوءِ يَخْتَصُّ بِاللَّامِسِ دُونَ الْمَلْمُوسِ، كَلَمْسِ الذَّكَرِاهـ

Dan imam al-Buwaithi dalam hal ini mengatakan wudlu nya seseorang yang disentuh tidak batal secara mutlak dan yang batal adalah wudlunya orang yang menyentuh

Di sisi lain ada juga solusi ketika mengikuti pendapat mazhab lain seperti :

المجموع شرح المهذّب للشيخ ابي زكريّا يحيى بن شرف النووي. ج ٢ ص ٣٠

فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي اللَّمْسِ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ الْتِقَاءَ بَشَرَتَيْ الْأَجْنَبِيِّ وَالْأَجْنَبِيَّةِ يَنْتَقِضُ سَواءٌ كانَ بِشَهْوَةٍ وَبِقَصْدٍ أمْ لاَ ولاَ يَنْتَقِصُ مَعَ وُجُودِ حَائِلٍ وَإِنْ كَانَ رَقِيقًا-(الى ان قال)-الْمَذْهَبُ الثَّالِثُ إنْ لَمَسَ بِشَهْوَةٍ انْتَقَضَ وَإِلَّا فَلَا وَهُوَ مَرْوِيٌّ عنِ الحَكَمِ وحَمَّادٍ ومالِكٍ واللَيْثِ واِسْحٰقَ وَرِوَايَةٌ عَنْ الشَّعْبِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَرَبِيعَةَ وَالثَّوْرِيِّ اهـ.

Menurut Imam Maliki beliau berpendapat bahwa bersentuhan dengan Non-mahram yang dapat membatalkan wudlu adalah ketika disertai dengan syahwat, jika tidak di sertai syahwat maka tidak batal

المجموع شرح المهذّب للشيخ ابي زكريّا يحيى بن شرف النووي. ج ٨ ص ١٧

فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي الطَّهَارَةِ فِي الطَّوَافِ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا اشْتِرَاطُ الطَّهَارَةِ عَنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَحَكَاهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي طَهَارَةِ الْحَدَثِ عَنْ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَانْفَرَدَ أَبُو حَنِيفَةَ  فَقَالَ الطَّهَارَةُ مِنْ الْحَدَثِ وَالنَّجَسِ لَيْسَتْ بِشَرْطٍ لِلطَّوَافِ فَلَوْ طَافَ وَعَلَيْهِ نَجَاسَةٌ أَوْ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا صَحَّ طَوَافُهُ اهـ

Sedangkan imam Hanafi berpendapat bahwa suci dari hadast bukan termasuk syarat sah dalam melakukan tawaf

Tapi tentunya berpindah mazhab juga memiliki beberapa syarat ketentuan dan etika di antaranya :

Ulama menyebut hal ini dengan istilah “tatabbu’ al-rukhash” memilih pendapat paling mudah dari semua mazhab, tanpa disiplin ilmiyah

Harus mengikuti mazhab secara utuh dan konsisten, bukan mencampur hukum sesuai selera ­(talfiq)

            Dari solusi-solusi yang telah di paparkan di atas tentunya berpindah mazhab ke selain mazhab syafi’i bukanlah perkara yang mudah, selain mengambil hukum dalam permasalahan membatalkan wudlunya saja kita harus benar-benar menguasai hukum yang ada pada mazhab yang akan kita gunakan dan memenuhi syarat-syarat juga etika untuk intiqol mazhab (berpindah mazhab), selain itu dalam bermazhab juga memiliki kaidah :

قَوْلٌ ضَعِيْفٌ فِي المَذْهَبْ أَوْلَى مِنْ قَوْلٍ قَوِيٍ خَارِجَ المَذْهَبْ

Artinya:”pendapat ulama’ yang lemah yang ada pada mazhab sendiri lebih utama daripada pendapat ulama’ yang kuat tapi dari mazhab yang lain”

Sehingga alangkah baiknya dalam permasalahan ini kita tetap menggunkan pendapat ulama’ Syafi’iyyah daripada harus intiqol mazhab (berpindah mazhab).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *